Ada bulan yang berbisik, “wahai bidadari milik perempuan baja, tidak perlulah kau risau”. Lihatlah perempuanmu. Dia selalu kokoh saat mulut mulut kotor memuntahkan lumpur terhadapnya Lihatlah perempuanmu. Saat gerombolan penyamun menyerang dia tidak pernah lari Lihatlah perempuanmu. Saat anjing tetanggahmu menggonggong, hendak menerkamnya dia malah memberikan ikan pancingannya semalam tanpa lelah matanya Lihatlah perempuanmu. Saat tanamannya dicabut dan dipotong akarnya lalu dimasukkan kembali ke lobangnya, perempuanmu mendoakannya tanpa membuat keributan
Lihat perempuanmu wahai bidadarinya Lihat perempuanmu demi cantik parasmu perempuanmu rela berlumpur lumpur Lihat perempuanmu demi sayapmu untuk terbang keliling jagat raya perempuanmu rela memotong sayapnya lalu memberimu dan berdoa Lihat perempuanmu demi tawamu perempuanmu rela menanggung sepih yang tak berujung Lihat perempuanmu demi cintanya padamu wahai bidadari perempuanmu melepaskan emas di depan pintu rumahnya
Lihat perempuanmu wahai bidadarinya Wajah keriput makin mengintai perempuanmu Ubannya serta sepih menjadi teman tidurnya Kokoh, kuat, dan cinta makin murni
Kuatlah seperti perempuanmu Lihatlah perempuanmu Bentangkan sayapmu, jangan berhenti Tegaplah melangkah, jangan mundur Kejarlah mimpimu, juang perempuanmu Mereka hanyalah pengawasmu yang tidak bergaji
Aku petik rindu di relung sukmaku Kutanam pada selasar cinta kita Tumbuhnya berhasil merangkai kepingan cinta tatkala aku mengubur di balik ruang sepi
Cintaku masih kisah tak bertuan Dilanda puing puing kasih yang pergi tak kembali Sisaku tumbuh rindu pada bola mata dusta Aku petik, kugenggam erat lalu kusimpan dalam peti cintaku
Aku akan mengembalikan rindu ini yang telah menjadi penyangga kisahku denganmu Walau abu, walau kabut, walau buram Masih ada secercah cahaya dalam petih kisahku
Akan kupungut lalu kukembalikan saat suaku denganmu kelak
Ada jejak jejak masa yang telah dicuri langit Lalu dilempar oleh angin dalam palung lautan Aku menyimpan hanya aroma kasihmu pada penghujung jalan sepi Kembalilah Petiklah Masih hijau tersiram asa . Bingkai Kata Parameswari . .
“Saya jatuh cinta” Lenteranya cantk nanti… semoga… Aku… kamu… kita Di tepi sungai Bergandengan Seperti Rapunzel dan Eugene Di atas perahu Melepaskannya bersama dengan harapan dan doa Semoga nanti Ada suka dan tawa yang akan kita lalui semoga nanti kita bercermin melalui cahaya indah itu… . . __ #bingkaikata #parameswari
Ketika ia kesepian, entahlah hanya buram saja yang bertengger di depan wajahnya. Sendok yang ia gunakan untuk menyeduh teh pun tidak bergeming, ia hampir tak berdaya berjuang melawan gejolak rindu. Sekilas nampak tersenyum di khalayak ramai namun hatinya dipenuhi piluh yang membandang, menanti rindunya yang tak pasti. Senyum di wajahya hanya kamuflase belaka. Hatinya benar benar hancur bahkan eden pun tak mampu menghibur duka-larahnya. Katanya, Si Mahbub kau datang menggoreskan warna, tapi tahukah kau setajam kau menggoreskan warna, sekejam itu pulah kau menggoreskan luka. Warna apa maksudmu? Ia hanya menunggu mahbubnya di lorong kelam itu.
Kemarin, kau datang, membawa segudang senyum, mengusir sepih juga perih perih yang menggerogoti. Kemarin kau datang, membawa suka, menghalau piluh, juga duka-duka yang bertakhta. Kemarin kau datang, membawa tawa, menolak sedih, juga larah yang mulai menggerogoti. Kau hadir, mulai mematikan sakit yang makin subur, kau datang, kau seperti obat mujarab di tengah semesta yang penuh dengan penyakit, ia bilang mematikan karena selama hidupnya tak ada obat yang ditemukan. Tapi kau, hadir tanpa diundang, hadir tanpa dicari, hadir tanpa dipanggil. Ia percaya kau adalah kiriman terbaik dari sang ilahi. Waktu itu belum ia pahami perbedaan dramatis ini, kau adalah ujian.
Malam-malam berjalan, ia masih setia bercerita dengan Tuhannya, Tuhannya maha segala sesuatu. Tuhannya masih membelakanginya, punggungNya saja yang nampak. Ia tak menyerah, setiap malamnya masih selalu sama. Tidak hanya malam, subuhnya pun hal yang sama selalu dilakukannya. Dan juga minggu adalah juga yang terpenting untuk bercerita. Ia percaya akan mendapat jawaban terbaik, hanya menunggu waktu yang tepat saja. Tuhannya tidak salah, sudah diperingatkan berulang-kali oleh-Nya tapi apa, ia berkeras hati, melawan Tuhannya kini mulailah ia dengan kesadaran penuh meminta lalu menunggu jawabannya sesuai dengan waktu Tuhannya.
Hanya kadang ketidakadilan ini, “untuk apa kau datang, memberi kenyamanan lalu pergi, hilang, tak bersuara.
“aku hanya memcoba bersahabat, itu saja, kau saja yang berharap lebih. Salahkan saja rasa dan hatimu, juga Tuhanmu, rindumu itu masalahmu jangan libatkan aku, mashubnya mashubaku”, kau kirimkan pesan itu, ia merasakannya.
Ini egois, “bagaimana mungkin hati dan rasaku kau salahkan? mereka berjalan sendiri di luar logikaku. Bagaimana aku mengendalikan mereka dengan pikiran dan teori teori tertentu. Heiiiiiii, pahamilah. Aku menyalahkanmu karena kau pergi meninggalkan kenyamanan yang luar biasa ini. Buat apa kau singgah, kalau teh yang sudah kusiapkan tidak kau nikmati? Katamu sudah ada yang menyiapkannya. Ini siapa yang egois?”, ia menjerit sambil bantal gulingnya itu digigit sampai keluar kepok yang menjadikannya empuk. Tempat tidurnya pun tiba-tiba menjadi genangan sungai duka akibat kedua anak sungai di kelopak matanya.
Ia berjalan sempoyongan, keluar dari kamarnya, mengambil sendok lalu menyeduh teh untuk diminumnya karena terlalu lelah menanggung sakitnya rindu. Kini sakitnya meningkat diserang jenis penyakit langkah yang menggerogoti rongga perutnya itu. Mungkin ia akan segera bertemu Tuhannya. Segala persiapanya telah matang, ia tidak takut untuk hidup lagi di dunia baru. Dengan tersenyum ia berharap akan melihatmu dari tempat jauh walaupun hanya bayang saja. Kau akan hadir di pelupuk walau hadirmu tak mungkin terjamah…
“Wahai mashub, berbahagialah dengan mashubamu, juga jangan kau tutup hati dan telingamu lagi. Cukup untuk menyakitiku saja”, ia berbisik sembari menyeduh teh.
Tamalabang, 15 Januari 2020 #bingkaikata #parameswari
Ke mana senyummu kau sembunyikan Ke mana kau bersembunyi sehinggah bisikmu tak lagi kudengar ? Anginpun mencarimu sekarang, Lalu bagaimana denganku yang sedang menanggung beban rindu?
Kemarin kita masih bercanda kecil lewat sunyi di depan rumah Kemarin kita masih duduk, bercanda di kursi yang sudah lapuk Kemarin kita masih senyum yang mengusir luka
Malam malamku tak bisa bersahabat dengan tidur Kau pergi tinggalkan luka, meninggalkan rindu, membawa nina bobohku Bagaimana aku bisa terpejam? Rindu yang kau tinggalkan itu kejam Selalu mengusik mengundang air mata
Kenapa pergimu sekejam ini? Aku baru nyaman kemarin Kenapa pergimu seluka ini? Kita hanya sebatas candakan? Kenapa pergimu sepiluh ini? Kenapa kemarin tinggalkan senyum dan cintamu?